Lelaki Sejati
>> Rabu, 30 September 2009
Ini adalah sebuah kisah di zaman Khalifah Umar bin Khattab. Adalah seorang pemuda yang berniat berangkat haji. Ia membersiapkan segala sesuatu yang menjadi keperluan termasuk onta yang menjadi kendaraan. Setelah merasa cukup ia berangkat dengan untanya. Terik matahari terasa membakar kulit, jilatan panas mendidihkan ubun-ubun, tak kuat dengan panas yang menyengat, sang pemuda berniat untuk beristirahat. Akhirnya ia menemukan sebuah kebun dan ditambatkan unta tersebut, iapun terlelap dalam lelahnya, di bawah pohon apel yang hijau dilepaslah segala kelelahan.Dalam tidurnya tak di duga unta tunggangan lepas dari tambatan dan naluri kehewanan muncul dengan memakan segala yang ada dalam kebun, unta tersebut juga merusak segala yang dilewati, sang penjaga kebun- seorang kakek tua- menjadi khawatir kalau unta itu menghabiskan segala yang ada, akan tetapi ia tidak dapat menghalau lantaran ia tidak cukup kuat untuk itu. Tanpa berpikir panjang kakek itu menghunus pedang dan memmbunuh unta tersebut.
Setelah bangun, pemuda itu sadar kalau untanya tidak ada ditambatan. Kemudian ia mencari kedalam kebun. Ia begitu kaget ketika menemukan untanya telah mati dengan leher menganga. Sang pemuda bertanya kepada kakek penjaga “Wahai kakek tua, siapakah yang membunuh untaku?” sang kakek menjawab dengan jujur bahwa ia yang membunuh dan menjelaskan kejadian yang sebenarnya. Karena tidak terima sang pemuda menjadi marah dengan reflek ia memukul kakek tersebut hingga tersungkur dan meninggal dunia.
Kemudian datang dua orang lelaki yang tidak lain adalah anak dari kakek tersebut. Kemudian mereka menangkap pemuda itu dan membawa kepada Amirul Mukminin untuk memina keadailan atas ayah mereka. Sesampai di depan amiril Mukminin Umar bin Khatab dua lelaki itu meminta keadailan dengan memberikan hukuman qishas atas kematian ayah mereka. Lalu Umar bertanya kepada pemuda tentang laoran dua lelaki. Pemuda itu mengakui. Iapun menyesal atas
Umar lalu berkata “ Aku tidak punya pilihan kecuali melaksanakan hokum Allah”.
Seketika itu pemuda meminta kepa Umar untuk diberi waktu dua hari untuk pergi kekampungnya, sehinga ia bisa melunasi hutang-hutangnya.
Umar berkata “Hadirkan kepadaku seorang yang jadi jaminan, andai engkau tidak kembali maka ia yang akan di qishas sebagai ganti atas dirimu”
Pemuda itu berkata” Wahai amirul mukiminin aku adalah orang asing dinegeri ini, aku tidak bisa mendatangkan seorang penjamin”
Pada wakt itu Abu Dzar hadir disitu dan berkata” Hai Amirul mukminin, ini kepalaku, aku berikan kepadamu jika pemuda ini tidak kembali dalam dua hari”
Dengan terkejut Umar berkata “Apakah kau yang menjadi penjadi penjaminnya, wahai Abu Dzar…….wahai Sahabat Rasulallah”
“Benar! Amirul Mukminin” jawab Abu Dzar lantang.
Waktu pelaksanaan hukuman telah sampai waktunya. Orang-orang menanti datangnya pemuda dari kampungnya. Sangat tegang. Sungguh menakjubkan!! Pemuda tersebut datang dengan tergopoh-gopoh kehadapan Umar. Orang-orang memandang dengan perasaan takjub.
Umar bertanya kepada pemuda itu “ Wahai pemuda mengapa engkau kembali, padahal engkau bisa saja menyelamatkan diri dari maut”
Pemuda itu berkata “Wahai Amirul Mukminin aku datang kesini agar jangan sampa ada orang yang berkata ‘tidak ada lagi orang yang menepati janji dikalangan ummat Islam’, dan agar orang-orang tidak mengatakan ‘tidak ada lagi lelaki sejati, ksatria yang berani mempertanggungjawabkan perbuatannya dikalangan umat Muhammad SAW’.”
Lalu Umar melangkah kearah Abu Dzar dan berkata “ dan engakau Abu Dzar bagaimana bisa engkau mantap menjamin seseorang, padahal engakau tidak kenal dengan pemuda ini?.”
Abu Dzar menjawab “ Aku lakukan demmikian agar orang-orang tidak mengatakan bahwa ‘ tidak ada lagi lelaki jantan yang bersedia berkorban untuk saudaranya seiman dalam umat Muhammad SAW.”
Mendengar itu semua, dua lelaki anak kakek yang erbunuh berkata, ‘Sekarang tiba giliran kami, Wahai Amirul Mukminin, kami bersaksi bahwa pemuda itu kami maafkan, dan kami tidak meminta apapun darinya! Tidak ada yang lebih utama daripada memberi maaf dikala mampu. Ini kami lakukan agar orang tidaka mengatakan bahwa ‘tidak ada lagi orang yang berjiwa besar, yang mau memaafkan saudaranya dikalangna umat Muhammad SAW’.”
Di ambil dari buku ‘Ketika Cinta Berbuah Syurga’ karangan Habiburrahman El Shirazy


0 komentar:
Posting Komentar